N A T A R U Atau Bagaimana Mem(per)mainkan IDENTITAS DAGANGAN MASSA(l)

N A T A R U Atau Bagaimana Mem(per)mainkan  IDENTITAS DAGANGAN MASSA(l)
Bagaimana Menyelamati/kan Akhir Tahun 2019 ? (sumber Tim LSR)

Anicetus Windarto

Merayakan atau mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru,” dapat sama saja, atau berbeda dengan “Selamat NATARU” pada saat-saat menjelang akhir tahun. Masa kini, di Indonesia, khususnya kota “Jogja Istimewa” dengan banyak tempat dan agen wisata, jasa angkutan, pusat perbelanjaan dan kuliner, hotel dll. ikut(ikutan) berlomba menawarkan barang dagangannya. Kata NATARU, bahkan mulai berkuasa, menjadi tanda atau predikat untuk apapun yang heboh atau menarik untuk diperjual-belikan.

 

Tanda atau predikat yang aneh, bahkan terkesan asing, seperti itu menjadi sebuah provokasi atau godaan manjur untuk mem(per)mainkan suatu identitas massal demi kepentingan konsumsi global. Akhir-akhir ini, misalnya, perusahaan KAI dan GIA ikut memanfaatkan kata “Nataru” pada sejumlah armada milik mereka dengan harapan ada kesepahaman: tidak ada peristiwa apapun yang lebih penting dan mendesak, kecuali kenyamanan liburan akhir tahun.

 

Sementara itu, dari laporan surat kabar harian Kompas (Kamis, 19/12/2019) dengan judul “Sukacita Natal dalam Kuliner”, panen buah-buahan lokal, seperti durian, di Ketapang, Kalimantan Barat, justru menjadi hidangan Natal yang paling populer. Namun, nun jauh di sana, Dubai Mall justru memajang sebuah pohon natal yang dihiasi dengan dekorasi dari merek berlian Swarovski dalam rangka menyemarakkan perayaan Natal tahun ini. Padahal, sebagaimana diketahui, Dubai merupakan bagian dari Uni Emirat Arab.

 

Kuasa kata dan peristiwa Nataru yang direka-yasa secara industrious (berlebih-lebihan) dapat setara dengan siasat translasi (alih bahasa) dari Michel Foucault dalam bukunya tentang “pipa cangklong” berjudul This Is Not A Pipe (1973). Foucault yang menganalisa lukisan kanvas dari René François Ghislain Magritte (1929) menjelaskan bahwa bahasa dan wacana tampak lebih berkuasa daripada benda yang dinamai sebagai pipa cangklong tembakau atau rokok. Foucault yang senang menggali dan mengutik-utik hal dan barang dari masa kini, menjadi jeli dan waspada terhadap jejak-langkah kuasa di balik kata-kata tentang hal dan barang (arkeologis) tertentu.

 

Maka, ketika “n a t a r u” menjadi kata atau “nama” istimewa di setiap akhir tahun – termasuk di “Jogja Istimewa”, hal itu bukan sekedar “kumpulan enam huruf” ringkasan atau kependekan dari “natal” dan “tahun baru.” Nataru menjadi sesuatu hal baru yang berkuasa; karena disematkan pada identitas yang bernuansa pemujaan komoditas dagang tertentu  belaka.

 

Akan tetapi, sebagaimana Foucault jeli memandang kenyataan di depan sepasang matanya sebuah “pipa cangklong” - tentu saja itu hanya gambar/lukisan sebuah “bukan pipa air” - semoga kita juga tetap perlu jeli, waspada, ingat untuk tidak melupa, dan bersikap bahwa di balik kumpulan enam huruf “Nataru” masih ada dua peristiwa yang patut dirayakan secara istimewa.

 

Selamat Na(tal dan)Ta(hun Ba)Ru, maaf, maksudnya: SELAMAT NATAL 2019 & TAHUN BARU 2020.