Manifestasi Nasionalisme Gejayan Memanggil
YB. Cahya Widiyanto, Ph.D
Menyimak opini berjudul “KORUPSI NASIONAL(isme)” sangat menarik. Khas seperti tulisan yang lainnya oleh Budi Susanto SJ, opini kali ini ditulis dengan banyak diksi yang simblik dan memancing pYB embaca untuk membaca melebihi yang tertulis. Terdapat ide ide yang diparafrasekan dalam paragraf mengajak pembaca untuk berpikir dua tiga kali ke depan dan ke belakang.
Artikel tersebut mengawali diskursus tentang nasionalisme melalui kejadian politik (social) yang actual. Barangkali maksudnya adalah mengajak pembaca membaca hal hal yang “dalam” dari hal hal yang “permukaan”. Peristiwa demonstrasi di gejayan yang diurai melalui Pernik Pernik tentang slogan, dan ikon ikon lain yang terlihat dalam aksideminstrasi; kemudian dari situ perbincangan soal kekuatan besar dibaliknya yaitu soal iamjinasi kolektif yang bekerja dalam segenap pegerakan dan dinamika bebabgsa dan benegara: Nasionalisme.
Kalo aku ndak salah tafsir, artikel ini mengungapkan tentang bagaimana imajinasi, konsensus tentang kehidupan bersama yang disebut nasionalisme tebaa melalui konten dan ikon dalam berbagai peristiwa politik social belakangan ini. Singkatnya saya membaca bahwa artikel ini membayangkan bahwa kata, tulisan dan “konten” yang teramati dari peristiwa demonstrasi yang marak (contohnya “Gejalan Memanggil”) adalah manifestasi dari ide, imajinasi tentang nasionalisme para demonstran atau masa yang bergabung dalam aksi tersebut.
Aksi massa yang melibatkan isu soal kehidupan politik di Indonesia bukan sekedar sebuah cara dari berdemokrasi di negara yang mendaku demokratis; nanun lebih dari itu, apa yang terjadi, segala symbol kata dan gambar juga tulisan adalah sebuah “kekuatan” yang menrasionalisasi terjadinya peristiwa peristiwa tersebut. Sloga, atribut, konten orasi, dlsb adalah sebuah “ asap” dari “api” yang sedang menyala.
Namun. artikel ini ditutup dengan kalimat yang dikutif dari Pak BenA, “Berbahasa Indonesialah yang menumbuhkan nasionalisme ketimbang nasionalisme yang menjadikan terbentuknya bahasa Indonesia.( Kuasa Kata, 2000, h.420)”. Kurang lebih kalimat penutup ini menegaskan bahwa yang sejatinya terjadi adalah yang sebaliknya dari asumsi yang dikatakan sebelumnya di awal artikel ini, atau berbeda dengan asumsi yang diyakini banyak orang selama ini, bahwa bukanlah nasionalisme, ide tentang hidup bersam yang mencipta Bahasa (kata kata, symbol dll), tetapi bahasalah yang akhirnya menciptakan imajinasi soal nasionalisme, soal konsep imajinasi hidup bersama orang orang se-Indonesia.
Saya jadi teringat konsep psikologi emosi James- Lange yang dikembangkan dari Pak William James (1842 -, 1910) dan Carl Georg Lange ( 1834 –1900).Teori emosi ini termasuk teori kritis tentang emosi manusia. Mereka berdua telah mempertahankan dan menjelaskan tentang teori kritis emosi. Dalam hipotesanya yang sangat kontroversial pada saat itu (kira kira tahun 1927; Judul tulisannya “The James-Lange Theory of Emotions: A Critical Examination and an Alternative Theory”; maaf naman jurnalnya aku lupa) , mengatakan bahwa Emosi adalah respon dari fisik, bukan sebaliknya. Emosi adalah respon reaksi dari situasi fisik (Physiological Response Pattern). Contohnya, orang lari baru kemudian takut. Jadi mungkin rasa takut itu justru terjadi karena ia berlari; bukan karena takut makanya ia berlari. Seandainya seseorang melihat singa di depan kamarnya, dan tetep diam saja (tidak lari), maka menurut hipotesa James Lange ini ia tidak akan mengalami emosi takut.