Padamkan Karhutla, Bukan KPK
Johanes Lasmidi
Dari awal saya tidak antusias dengan Gejayan Memanggil. Terlalu sulit memaknai lantaran gagasan yang diusung menurutku reaktif sekaligus sempit dalam konteks bangsa yang besar ini.
Mekanisme judicial review yang sejatinya bisa menjadi ajang pembuktian kualitas tak sampai disentuh bahkan nyaris dianggap tidak ada. Pilihan turun ke jalan menyisakan pertanyaan dalam hati, keprihatinan apa yang dibawa? Ini tentang keberanian atau tanda ketidakpercayaan diri?
Sebagai orang yang bergelut di bidang kebencanaan, sangat sedikit poster, tulisan atau spanduk tentang pemulihan pasca bencana pun tak ada tentang karhutla yang dampaknya mencederai kedaulatan hidup rakyat. Kalaupun ada, pastilah bukan butir penting. Apakah hal di atas tidak ada hubungannya dengan korupsi? Tidak ada hubungannya dengan hukum pidana? Atau jangan-jangan kita sedang tidak memahami kaitan-kaitan?
Saudara-saudara kita di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang jauh dari Jakarta, berjubaku mempertahankan kedaulatan hidup, sementara perhatian kita dibelokkan pada isu RUU KUHP dan KPK. Parahnya, isu yang datang dari ruang sidang wakil rakyat selalu nampak seperti bibir merekah yang mengundang hasrat. Kecenderungan untuk terpukau pada isu seksi Jakarta menjauhkan kita dari kesadaran bahwa misalnya anak kecil yang terkena ispa akibat bencana asap hingga meninggal dunia adalah anak dari saudaraku sebangsa.
Apakah gejayan memanggil penting dan berguna? Iya!! Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari berisiknya dinamika hidup berdemokrasi di negeri ini. Namun apa setelah itu? Terlalu sayang jika moment kenangan petistiwa luar biasa itu tak dijadikan kesempatan untuk mendewasa sebagai bangsa.
Saya masih mencari cari dalam foto-foto gejayan memanggil, berharap menemukan gambar, poster, spanduk atau kaos bertuliskan "Padamkan karhutla, bukan KPK" pasti saya sangat bahagia. Pemakai kaos ini pastilah orang yang mengingat penderitaan saudara sebangsanya yang berada jauh di pulau seberang, saat berjuang melawan rejim di Jakarta. Ada yang punya?