(ke)PAHLAWAN(an) MONAS dan HUT TENTARA NASIONAL INDONESIA 2024
Satu bulan lebih beberapa hari, sesudah kebiasaan nasional memperingati HUT TNI, rakyat Negara Bangsa Indonesia merayakan Hari Pahlawan, pada setiap tanggal 10 November. Bukan kebetulan bahwa pada HUT TNI 5 Oktober 2024 yang lalu, salah satu atraksi yang mempesona yaitu akrobat rapeling (turun dari ketinggian dengan tali) oleh pasukan Kopassus (Komando Pasukan Khusus) dari puncak Monumen Nasional (Monas) yang berlokasi di Lapangan Medan Merdeka, persis di seberang dan sebelah depan Istana Merdeka.
Semula, gedung istana yang dibangun sejak abad kesembilan belas tersebut adalah milik pengusaha Belanda yang mempunyai perkebunan dan pabrik gula; dan kemudian menjadi kediaman para Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa pendudukan rejim militer Kekaisaran Jepang (1942-1945), dan sebelum tugu Monas dibangun, di lahan tersebut ada Stadion Ikada tempat untuk kegiatan olahraga dan penyelenggaraan berbagai Rapat Raksasa. Baru sesudah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Istana Merdeka menjadi kediaman Bung Karno dan beberapa presiden RI berikutnya.
Mengapa Monas? Barangkali karena monumen itu adalah salah satu penanda penting dalam sejarah Indonesia yang dibangun pada tanggal 17 Agustus 1961 dan diresmikan tanggal 12 Juli 1975, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Monas adalah bangunan blasteran obelisk patriotik Eropa dan lingga-yoni Jawa kuno. Monas tidak memperingati peristiwa atau pencapaian tertentu, tetapi sebagai bentuk dari ringkasan atau penjelasan atas masa silam Indonesia. Singkat kata, mendiang Ben Anderson (1936-2015) menulis “Monumen tersebut menjadi nasional karena tradisional, bukannya tradisional karena nasional.”
Monas yang pada dasarnya berkarakter ambigu dan menjadi bayangan bagi monumen-monumen Orde Baru, telah dipandang sebagai adegan (scene) dari kejayaan masa silam Indonesia tetapi menjadi tidak mudah - apalagi dengan peran medsos teknologi informasi dan komunikasi digital - untuk memberi gambaran lakon (scenario) berkaitan dengan masa kini serta masa menjelang (Anderson 1990/2000)
Angkatan Bersenjata Remaja Indonesia (ABRI) berkat Ponsel (Sumber: indonesiadefense.com)
Berkebalikan dengan itu, monumen Pembebasan Irian Barat yang terletak di Lapangan Banteng adalah bagian dari gerakan nyata dalam sejarah Indonesia, bukan sekadar keterangan mengenainya. Figurnya yang kasar berupa manusia yang berdiri di puncak dua buah penyangga beton vertikal dengan lengan-lengannya merentang ke langit dan pada kedua kakinya terdapat rantai yang terputus, monumen itu lebih menyimbolkan secara langsung pembebasan dari penguasaan kolonial. Itulah sebabnya monumen itu menampilkan patung bergaya surealis yang menunjukkan gelora perjuangan yang tak kunjung padam. Patung itulah yang memperlihatkan kegigihan dari para pejuang demi nasionalisme Irian Barat yang terbayangkan. Sebab tanpa patung “yang tidak halus” tersebut, monumen Irian Barat itu hanya membuat kelingan (kenangan) bagi yang melihatnya, bukan justru eling (waspada, jeli dan cerdas).
Angkutan umum Panser untuk masyarakat sipil di Palembang (Sumber: sumsel.tribunnews.com)
Pahlawan belia menunggang(i) panser alutsista (Sumber: Tagar.id)
Persis seperti jajak pendapat di harian Kompas Minggu (11/11/2024) pada Hari Pahlawan yang lalu, sosok yang dikenal sebagai pahlawan sampai saat ini adalah negarawan yang telah berjasa pada rakyat atau bangsa dan negara. Dari sini tampak bahwa pahlawan masih disamakan dengan monumen-monumen yang hanya untuk merawat masa lalu tanpa perlu menggaungkan nilai dan makna perjuangannya demi masa kini. Inilah pesimisme yang selalu ditopengi dengan ritual resmi atas nama negara yang menghadirkan lakon politik bertema kekacauan dan pemutarbalikan. Ironisnya, sosok dengan segenap lakon politiknya di masa kini dengan mudah direkayasakan dan disebarluaskan melalui media sosial (medsos), seperti instagram, twitter, tiktok, dll. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi, apalagi jeli dan hati-hati, untuk melakukan agitasi dan propaganda bagi massa rakyat. Sebab teknologi informasi dan komunikasi medsos digital modern telah menjadi gaya baru yang mampu memberikan kepuasan artistik publik secara massal
Oleh-oleh medsos alutsista Tentara Nasional Indonesia dari Monas Medan Merdeka (Sumber: detik.com)
Walter Benjamin seorang warga Jerman pernah menulis sikap penganut facisme di kalangan yang sedang berkuasa yang suka mengorganisasikan massa kerakyatan. Tetapi, ajakan tersebut sesungguhnya justru mengabaikan tuntutan supaya struktur kepemilikan - yang tidak adil - dihapuskan sesuai kehendak rakyat. Fasisme melihat tujuan akhir cita-citanya dengan “menina-bobokkan” massa rakyat, sekedar memberi kesempatan mempesona tampil di atas panggung sesaat untuk mengekspresikan diri mereka.
Rundown (Up)Acara HUT Tentara Negara-Bangsa Indonesia (Sumber: IG @kangenkonser_)
Tentu, menjadi tantangan dan juga peluang bagi siapapun yang mengaku sebagai penerus Penyambung Lidah Rakyat. Mengapa dan bagaimana yang bersangkutan - siapa atau apa - perlu memperingati Hari Pahlawan, tetapi abai pada perjuangan kemerdekaan 1945; yang menjadi dasar dan tujuan memajukan negara bangsa RI ini. Penting untuk diketahui bahwa republik ini dibangun tidak hanya melalui perlawanan bersenjata para pejuang revolusioner, melainkan juga melalui jalur diplomasi, dan keberpihakan pada nasionalisme dalam Pemilu.
Bung Hatta, diplomasi untuk kemerdekaan revolusi pemoeda negara bangsa RI dalam KMB Den Haag 1949 (Sumber: Kompas.com)
Selamat dan terima kasih untuk jangan “Ingat untuk melupa menghayati perayaan para Pahlawan Pejuang Kemerdekaan Negara Bangsa Indonesia.”
Bacaan acuan:
Anderson, Benedict. 1990/2000. Kuasa Kata. Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Jogja: Mata Bangsa.
Benjamin, Walter. 1968. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction,” dalam Illuminations. Essays and Reflections. New York: Schocken Books.
Shiraishi, Saya Sasaki. 2001/1997. Pahlawan-pahlawan Belia.Keluarga Indonesia dalam Poltik / Young Heroes. The Indonesian Family in Politics. KPGramedia / Cornell SEAP.