MENJADI WNI PETANGGUH

MENJADI WNI PETANGGUH
Panggung Digital Petangguh Muda

Sudah tiga perempat abad (1945-2020) kemerdekaan Negara-Bangsa RI diproklamasikan. Dengan rasa terimakasih yang mendalam rakyat Indonesia boleh bersyukur memiliki para proklamator dan pejuang tangguh kemerdekaan RI. Sekarang ini, menjadi saat dan tempat tepat bagi setiap WNI (Warga Negara Indonesia) untuk dapat bertanya, apakah dalam status usia dan peran masing-masing, sudah (menjadi) merdeka? Kalau perlu, untuk diperbandingkan dengan saat dan tempat masa silam dari  negara kolonial Hindia Belanda di bawah pemerintahan negara-birokrasi pada waktu itu.

Tiga bulan sesudah 17 Agustus 2020, dan hanya satu minggu(!) sesudah peringatan Hari Pahlawan Nasional 2020, sekelompok mahasiswa pejuang rakyat kembali meneruskan demo berjilid #GejayanMemanggil. Kelompok ini menamai  diri mereka Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), yang begitu tangguh dan pantang mundur  menggerakkan masyarakat, khususnya rakyat warga di sekitar “college town” Jalan Gejayan. ARB juga tidak ikut-ikutan melupa untuk ingat bahwa dalam aksi Reformasi tertanggal 8 Mei 1998, Jalan Gejayan melahirkan seorang “pahlawan” -mungkin lebih tepat “pejuang”?- mahasiswa bernama Moses Gatot Kaca.

Sebagai petangguh (survivor) dan bukan sekedar “korban” (victim) dari pesan “Matinya Demokrasi” yang tertulis di sebuah keranda berkelambu kain hitam, ARB menggelar demo berjilid ke tujuh di Simpang Gejayan, 17 November 2020. Pada sisi lain pada keranda yang sama yang diarak sepanjang perjalanan “long march” dari Bunderan UGM lewat Jalan Kolombo menuju Simpang Gejayan, ada tertulis kata-kata “Rezim Totalitarian.” Nampaknya pesan-pesan tertulis pada keranda kematian itu ada dalam keterbayangan dan dilayangkan kepada Pemerintahan RI dengan presiden yang resmi dipilih dalam Pemilu Pilpres tahun 2019 - untuk lima tahun yang menjelang.

Demo perlawanan dan kepahlawanan tertanggal 17 November 2020 ini diselenggarakan sesudah demo mahasiswa #JogjaMemanggil tanggal 7 Oktober 2020 di depan gedung DPRD-DIY, di Jalan Malioboro sebagai ikon kota Jogja, berakhir dengan aksi anarkis dan “terbakar”nya salah satu kafe dan restoran di lokasi itu. Demo di Simpang Gejayan sore itu juga mengerek banner besar untuk menutupi beberapa baliho iklan di pinggiran Simpang Gejayan tersebut, dengan kata-kata: “Matinya Demokrasi #MosiTidakPercaya', 'Cabut Omnibus Law' serta 'Bangun Politik Rakyat.“

Dua spanduk lain hasil karya para pendemo milenial  tersebut, misalnya, menyatakan “Kebenaran Mutlak Milik Rakyat” berdampingan dengan penegasan spanduk lain yang berbunyi, “Tolak Persatuan Dengan Borjuis Manapun.” Demo seminggu sesudah Hari Pahlawan Nasional di tahun 2020 tersebut dihadiri kira-kira 200-an orang, dan didampingi oleh petugas gabungan POLRI dan TNI dengan jumlah yang lebih besar sedikit.

Dalam gagasan Benedict Anderson, keterbayangkannya komunitas para pejuang nasionalisme tak dapat dilepaskan dari saudara-saudari sebangsa yang sudah berbaring damai abadi di Taman Makam Pahlawan.  Apalagi secara khusus, ada yang kita kenal sebagai “makam para pahlawan tak dikenal.” (Lihat, Benedict Anderson, 2001. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, hlm. 12-13). Sebab dari sinilah pembayangan yang berkait dengan kerelaan berkorban demi sesama terbentuk. Kendati tak pernah berjumpa, apalagi bertegur sapa, para pahlawan yang dibayangkan bersemayam di makam-makam itu, dapat menjadi semacam “bahan bakar” untuk tetap mempertahankan apa yang telah diperjuangkan dan dibayar dengan melenyapkan nyawa orang lain meski nyawa sendiri pun harus terenggut. Pembayangan yang serba terbatas, namun selalu dibela mati-matian itu, menunjukkan bahwa semangat kepahlawanan dari makam-makam itu selalu dijaga daya dan kuasa gaibnya demi menghadirkan sebuah bangsa dengan negara merdeka dan berdaulat.

Nasionalisme anti kolonial memberi WNI pengalaman untuk perlu belajar dari masa silam demi RI yang menjelang. Kota pahlawan, Surabaya, merawat sebuah monumen untuk makam pahlawan tak dikenal. Kata-kata di situ menyuarakan, “di sini kau tidur dalam keabadian tanpa batas, sebagai pahlawan tak dikenal karena gugur, saat berjuang tanpa pamrih membela bangsa dan negara, menjadi satu dalam pusara tanpa nama.”

Perlu kewaspadaan karena seperti pernah dicatat sejarahwan pemerhati kajian Indonesia, Mrazek mengatakan bahwa para cerdik-cendekia Indonesia -mahasiswa kampus termasuk - boleh jadi menganggap diri sebagai  “superior class of workers” who “believe that there is a calculated sameness between the planning and the dreaming,”  Mrazek juga mengingatkan WNI untuk waspada, jeli dan cerdas memanfaatkan hibriditas masyarakat dan budaya plural dari masa silam Indonesia. Hibriditas yang sesungguhnya juga dibangun dengan aksi dan gerakan negosiasi dari rakyat dan para pemimpin revolusioner pejuang kemerdekaan yang terkait. Bukan malah kita bertindak asal menolak globalisasi politik ekonomi dan kebudayaan -dengan rekayasa hegemoni TIK (Teknologi Informasi & Komunikasi)- tanpa menyadari telah berperan “bunglon” demi menjadi pesolek di atas panggung “Penyambung Lidah Rakyat.” (Rudolf Mrázek 2006, Engineers of Happyland. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 204).

Unjuk rasa para mahasiswa -seperti dalam undangan serial #GejayanMemanggil -sesungguhnya memberi kesempatan bagi mereka yang hadir (hanya sekitar 400 orang terdiri pendemo dan petugas keamanan) maupun yang mangkir tetapi ikut membayang-bayangkannya, misal, lewat TIK medsos, dapat sejenak melakukan kajian ulang.

Pertama, membayangkan pahlawan atau pejuang kebangsaan, khususnya melalui Bintang kehormatan tertentu, bukan menawarkan akses istimewa menuju pada kebenaran tunggal, melainkan hanya sarana dan wahana untuk membangun kesetiakawanan lintas ilmu, budaya, bahkan benua. Sebuah bintang kenegaraan bukan jimat yang dapat digunakan secara semena-mena atas nama kepentingan pribadi dan/atau kelompok tertentu. Kedua, sebuah Bintang kenegaraan bukan semacam mandat kosmologis (ilahiah) yang dapat dimanfaatkan untuk memerintah siapapun demi kepentingan sepihak semata. Itulah mengapa bintang ini bukanlah jimat yang dapat menjadi penanda akses menuju kekuasaan absolut dan tanpa batas. Ketiga, kesementaraan dari penghargaan ini menjadi penanda bahwa negara-bangsa bukanlah penentu tunggal dari segala-galanya, tetapi hanyalah wahana untuk menampung beragam skenario yang dihasilkan setiap warganya.

Berjilid-jilid demo dan unjuk-rasa dari berbagai pihak di Jalan Gejayan selama setahun terakhir ini, menyadarkan kembali bahwa anugerah “Bintang-Bintang sebagai penghargaan negara-bangsa Indonesia bukan untuk diperebutkan; namun justru untuk direkonstruksi, didekonstruksi, direstrukturasi, dll. istilah sejenisnnya demi perkembangan dam kemajuan zaman yang terus-menerus bergerak.

Dapat saja hanya sebuah kebetulan, sejak tanggal 19 Februari 2019 dan selama satu dasawarsa ke depan, para Jesuit seluruh dunia mengemban tugas dari pimpinan mereka di Roma. Para Jesuit diwajibkan untuk bergerak dan berkolaborasi dengan pihak si/apa-pun untuk menjalankan: Empat Preferensi Karya Universal (Universal Apostolic Preferences of the Society of Jesus 2019-2029). Menarik bahwa salah satu preferensi menegaskan tentang karya menemani orang muda membangun harapan untuk masa depan yang tidak pasti akibat digitalisasi teknologi, berkurangnya peluang pekerjaan, peningkatan kekejian politik, dan penurunan kualitas lingkungan alam.

Tiga preferensi karya yang lain yaitu: mempromosikan kecermatan dan kecerdasan  mengambil keputusan publik seiring terang keilahian. Kemudian, membela orang-orang yang disingkiri/kan (miskin, dikucilkan, dan diperkosa); dan yang keempat yaitu  berkolaborasi dengan si/apapun dalam merawat dan melestarikan alam sebagai rumah kita bersama.

Bersama orang-orang muda, para pejuang tangguh kemerdekaan RI, kata-kata Muhammad Yamin diguratkan pada monumen “Pahlawan Tak Dikenal” yang ada di kota Bukit Tinggi. Kata beliau, "Pahlawan Tak Dikenal, mati luhur tak terkubur, memutuskan jiwa meninggalkan nama, menjadi awan di angkasa, menjadi buih di lautan, semerbak harumnya di udara."

 

 

College Town Gejayan, Jogja
HUT 81 International Student Day
Mengenang perjuangan dosen dan mahasiswa
petangguh di Praha, 17 November 1939