PBT Yogyakarta
Arta Elisabeth Purba
Kampung Ketandan yang dulu dinama-i/kan Pecinan setiap tahun menggelar Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY). Kampung Ketandan terletak berdampingan dengan jalan Malioboro, kota Yogyakarta. Kawasan Pecinan ini yang berada di sebelah tenggara perempatan antara Jalan Malioboro dengan Jalan Pajeksan dan Jalan Suryatmajan, “diresmikan” pada tahun 1866 dengan UU Wijkenstelsel. Ketandan artinya “tanda” atau penarik pajak warga Tionghoa untuk Keraton Yogya yang dipimpin oleh seorang mayor atau kapiten sejak 1866 (Liputan6.com, 2016).
Konon, keberadaan Ketandan tidak terlepas dari tokoh Tionghoa bernama Tan Jin Sing yang hidup antara 1760 sampai 1831 dan mendapatkan gelar dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono III yakni Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat karena berbakat menjadi penghubung antara keraton dan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Thomas Stamford Bingley Raffles. Sebagai hadiah, Sultan HB III juga memberikannya tanah di daerah Ketandan dan memberikannya kedudukan sebagai wakil dari kalangan Tionghoa masa itu.
Hingga sekarang, deretan bangunan di daerah ini identik dengan barisan rumah toko bertingkat dengan arsitektur Tionghoa hasil kombinasi kebudayaan Melayu dan Eropa. Pada bagian bawah, biasanya digunakan untuk kegiatan berniaga seperti membuka toko emas dan perhiasan, sama seperti profesi mereka ketika datang pertama kali ke Indonesia pada abad ke-18. Sementara pada bagian atas digunakan untuk tempat tinggal yang dilengkapi berbagai pernak-pernik mewah khas Barat dan Timur. Setelah ditinjau secara langsung oleh Dubes Tiongkok, Pemerintah DIY mulai merenovasi beberapa bangunan di kawasan ini, termasuk rumah peninggalan Kapiten Tan Jin Shing sejak Maret 2019 (Jogja politan, 2019). Bahkan di bagian depan kampung terdapat gapura khas Tionghoa yang merupakan hasil kerjasama pemerintah DIY dan Shanghai. Rencananya, rumah kebudayaan Shanghai di daerah kampung ini akan dijadikan sebagai ikon pariwisata dalam memperkenalkan budaya Tionghoa. (Jogjaidn, 2019).
Sesudah renovasi selesai, pada 13 Juni 2019 lalu keberadaan kampung Ketandan mendadak viral secara internasional melalui teknologi informasi digital. Akun media sosial pariwisata Shanghai (Suara.com, 2019) dalam postingannya menampilkan foto gapura khas Pecinan dengan lilitan naga di kiri-kanan berwarna merah bertuliskan Kampoeng Ketandan namun memberikan keterangan bahwa foto tersebut diambil di Shanghai Tiongkok, bukan Yogyakarta-Indonesia.
Postingan ini segera dibanjiri oleh komentar netizen Indonesia yang tidak terima jika salah satu tempat wisata khas Yogyakarta diklaim sebagai milik Shanghai dan berada di Shanghai. Namun postingan yang “keliru” ini, nampaknya, justru menjadi strategi pemasaran yang jitu sekaligus gratis dalam mempromosikan objek wisata Jogja Istimewa di kalangan masyarakat digital dan menarik banyak wisatawan. Sejak tahun 2005, menjelang Perayaan Tahun Baru Imlek, kampung Ketandan biasanya dimeriahkan dengan berbagai rangkaian PBTY dan bazar.
Adalah Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 terkait pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa dengan tujuan memberikan hak yang sama kepada masyarakat Tionghoa dalam merayakan hari besar keagamaan dan kebudayaannya seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya. Pernyataan itu juga dikuatkan oleh presiden Megawati Soekarnoputri sejak mengumumkan Imlek menjadi Hari Libur Nasional pada 2003.
Salah satu atraksi paling menarik dalam PBTY yang digelar setiap tahunnya yaitu pertunjukan Barongsai yang merupakan cerminan akulturasi China di Indonesia. Kata 'Barong' yang diambil dari kesenian rakyat Jawa dan Bali, menunjuk ke binatang harimau, si “Raja Hutan.” Kata 'Sai' dari bahasa Hokkian berarti singa atau harimau (Kompas, 2018). Di China, jenis kesenian ini dikenal dengan nama 'Wu Shi', sedangkan di negara Barat 'lion dance'. Pertunjukan Barongsai selalu dilengkapi dengan lion dance atau dalam bahasa Jawa “Liang-Liong” atau “Liong” saja dalam bahasa Indonesia.
Seiring perjalanannya, entah dengan alasan belum jelas, Barongsai semakin jarang hanya dimainkan oleh warga Tionghoa saja. Bahkan tujuh tahun lalu, Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) yang menaungi kesenian Barongsai telah diakui oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia KONI dan menyebut pemain Barongsai sebagai Atlet Barongsai. Olehkarena itu, pemain Barongsai tidak lagi hanya dari kalangan warga Tionghoa. Namun apakah justru dengan demikian warga Tionghoa harus ingat untuk melupakan permainan kesenian Liong dan Barongsai?
Salah satu kelompok Barongsai Indonesia pernah berhasil meraih juara pada kejuaraan dunia dan banyak pihak tertarik untuk melibatkan diri menguasai kesenian ini tanpa memandang latar belakang suku, agama dan ras. Salah satunya seperti anggota Golden Dragon dari Yayasan Hakka Indonesia Sejahtera (PHIS) Aceh yang mengikuti Turnamen internasional di Kota Henan, Zhengzhou, Tiongkok pada 17 hingga 22 September 2019 lalu (Rencongpost.com, 2019). Kostum para pemain bewarna merah dan sudah dipadukan dengan pakaian khas Aceh.
Tidak hanya kalangan masyarakat sipil, kalangan militer, ABRI, bahkan memiliki ketertarikan untuk menguasai kesenian Barongsai. Dalam kesempatan PBTY tahun 2010, kelompok 200 personel TNI AU Lanud Adisutjipto dari Skadron Teknik dan Skadron Pendidikan tampil memainkan Liong terpanjang rekor Museum Rekor Indoneisa (MURI) dengan motif batik sepanjang 159 meter. Liong Barongsai jenis ini dirancang selama kurun waktu dua bulan dan dijadikan sebagai bintang tamu dalam pembukaan PBTY X 2015 dengan tema Merajut Budaya Merenda Kebersamaan (Radarjoja, 2015).
Korps Arhanudse 15, TNI Kodam IV Diponegoro Semarang juga sudah tiga kali berturut-turut memenangkan PBTY dengan Barongsai Naga Doreng andalannya sejak tahun 2013, 2014 dan 2015 (Jatengtribun, 2016). Naga Hijau Yonif radiar 501 Madiun yang sudah berlatih sejak tahun 2014 selalu tampil prima dalam memeriahkan Imlek (Madiuntoday, 2018). Kesenian Liong “Naga Doreng” ini dipandang sebagai alat pembinaan teritorial (binter) prajurit kepada masyarakat dan sebagai sarana merawat kebinekaan, pemersatu bangsa tanpa membedakan suku, agama, ras, dan etnik dan menegaskan bahwa tidak ada sekat di antara sesama warga Indonesia. “Doreng” atau loreng adalah warna khas kamuflase pakaian perang ABRI. Tidak hanya dalam perayaan Imlek, bahkan dalam salah satu acara resmi sertijab Komandan Detasemen Kavaleri-2 Beruang Cakti Kalbar di Pontianak, dua anggota TNI memperagakan barongsai di atas panser (BeritaHanKam,2009).
Sudah lebih dari 150 tahun, penguasa kolonial Hindia Belanda sempat tega mem(per)mainkan atau memulai politik identitas dengan UU Wijkenstelsel pada tahun 1866. Semoga saja dalam kebhinekaan Indonesia masa kini, agenda rutin khas Jogja, PBTY XV 2020, yang memilih tema The Cultural Colors of Wonderful Indonesia di tahun Tikus Logam yang – dengan “ramalan” – sungguh membawa kemakmuran, kekuatan dan keberuntungan bagi warga Tionghoa; dan tentu saja juga sesamanya (yang Lain) di NKRI.